Idealisme tergadai nilai





Memiliki idealism sesuai norma sudah menjadi kepatutan bagi setiap insan—terlebih kita yang berstatus mahasiswa. Idealisme menjadi tonggak untuk setiap perbuatan, perkataan, dan menjadi pedoman apa yang harus dilakukan. Mengutip dari kata-kata Tan Malaka, "Idealisme merupakan kemewah terakhir yang dimiliki oleh pemuda". Namun apa benar pemuda di zaman yang serba maju ini masih memiliki kemewahan tersebut? Iya, masih—namun kerap tergadai oleh suatu hal yang menyangkut kepentingan, kekuasaan, bahkan nilai sekalipun. 


Kawan, literasi ini setidaknya dapat mengingatkan kembali pada kita semua mengenai betapa pentingnya sebuah idealisme bagi pemuda—tak terkecuali mahasiswa. Berjalan pada kehidupan yang serba instan bisa saja merubah cara pandang terhadap suatu hal. Baik hal yang mendasar, maupun hal lain yang di anggap tak begitu berarti; tergantung mindset masing-masing. Mengedepankan ego kerap terjadi saat kita menganggap apa yang dilakukan itu benar tanpa menelaah dan tak memiliki landasan. Ingin menang sendiri hingga acuh tak acuh pada suatu hal menjadi penyakit menahun yang kerap di jumpai pada saat ini. Sibuk dengan dunia sendiri, hingga menyebarnya perilaku apatism pada diri yang mereka bangga dengan emblem "Mahasiswa"; tetap berkarakter masih sebatas siswa SMA. Itu terjadi? Iya, bisa di jumpai kini. 


Sahabat, sampai kapan tradisi seperti itu berlanjut; bahkan perlahan lupa tugas pemuda sebagai agen demi sebuah perubahan, kemajuan, dan penyambung lidah rakyat. Sudahkah kita tinggal sebatas kenangan, "Mahasiswa" yang dahulu terkenal gandrung akan keadilan, sontak terdiam dengan kondisi serba menyudutkan, ia yang dahulu bergerak tanpa ada penindasan, tertidur dengan angin segar pembungkaman? Entahlah, bahkan jiwa dan nurani perlahan mati dengan narasi pangkat dan jabatan serta terselip ancaman angka dan huruf penentu kelulusan. 

Demikian mindset kita terpaku, tunduk dan tak mampu bersuara lantang (lagi). Hingga hadir suatu kondisi dimana kita terjebak fikir saling menyalahkan, terpecah belah dan tak mampu menyatukan persepsi. Lantas sampai kapan budaya ini akan berulang? Sampai kita saling hancur dan sang pengatur taktik terbahak dengan tawa. Tidak! Kemewahan (idealism) itu harga yang tak ternilai. 
                                            


Kini bagaimana jika kita saling menyamakan paradigma, meski perbedaan akan kerap hadir tanpa harus memecah. Menyatakan siap menjadi pengubah laju peradaban—yang dahulu bobrok dengan kuasa, esok tak haus lagi, yang kini terbuai alur bungkam, esok tak diam melihat suatu penindasan. Lihat rakyatmu, wahai "Mahasiswa" itulah yang wajib engkau pertaruhkan. Jiwamu abdi pada negeri tercinta, fikirmu abdi pada kelansungan (penelitian) dan hasratmu haus akan pembelajaran. 

Menjadi jiwa terpelajar ialah suatu keharusan untuk bekal hidup, dan menjadi jiwa sosial suatu syarat dapat diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Jadi, sampai kapan akan bertahan dengan jiwa apatism atau bahkan mengedepankan ego dan disposisi keharusan. Beradaplah dengan suatu kebebasan, kita hidup di negara yang sangat menghargai demokrasi, hingga memiliki suatu idealism (pemikiran) yang berakar akan membawa dampak positif pada kelansungan dan ketertiban. Ibaratkan kita sekumpul orang yang haus pengetahuan, pasti saja belajar menjadi prioritas utama. Namun ibaratkan kita sekumpul baling-baling yang mendamba angin, tentu akan menghadap pada angin yang lebih kuat dan jelas tak berpendirian. Jadi, sampai kapan kita menjadi baling-baling? Hingga badai menerpa dan patah tak beraturan? Tidak, jiwa muda tak pernah akan berhenti meski terikat pembungkaman, menjadi pengubah merupakan tujuan. Dan kau hadir untuk masa depan, bukan bawahan tanpa motivasi ataupun petinggi tanpa landasan. Arah hidupmu tergantung pada pemikiranmu (sesuai norma) hingga mampu menjadi seorang yang ber-idealis tanpa takut terpatahkan. 

Resapilah, nilai bukan jalan untuk diterima pada kehidupan masyarakat, namun saat kau berlandas idealism setidaknya kau dapat membela hak-hak masyarakat. Maka, berhentilah pemuda (mahasiswa) dari aktivitas sebatas siswa. Abdimu lebih dari sekedar mendengar, mendengar, catat, catat dan lain sebagainya. Ayo pemuda (mahasiswa) idealismu tergadai saat hanya terpaut angka penentu nilai, dahulu kau terkenal di takuti birokrasi namun kini terlihat menakuti birokrasi. Dahulu terkenal dengan putih atau hitam, kini terselip kata abu-abu, lalu sampai itu berlanjut? Lantas kau diam dengan suatu arahan yang tak beraturan? Pilihan tetap ada ditanganmu. Salam hangat dariku, setidaknya kau bukan pecandu degradasi pemikiran, namun tetap terkonsep dengan keyakinan.

 ...
Previous Post Next Post