Terutuk kamu, ucapan manis yang terngiang di telinga pantas selalu buat aku yakin kau tak akan kembali; terang saja, semua literasi penuh janji dari mulut indahmu hanya hampa yang tak terlaksana. Ahh.. sudahlah, hayalan kosong yang tak pernah terbukti; "dahulu kau bersyair bahagia, dan tak akan pergi" pikirku bersama kopi hangat tersaji.
2014, lima tahun lalu aku berlimpah sendu (sebelum kau hadir), namun saat kau datang dan seolah akan memberi perubahan berarti hingga sontak segenap pengharapan ini kembali menyeruak ke permukaan dada; aku tersipu pandangan manis dari sorot mata genitmu.
Berbekal polos yang aku lihat, kau manfaatkan detik berubah menit untuk mempersekusi hati ini untuk memilihmu; sebagai pengharapan terakhir. "Itu dia, bahagia yang sedari tadi aku tunggu" perlahan hati berucap seraya tersenyum.
Cerita kian bermula, pukul satu profil tengah dari facebookmu aku tonton dengan rasa ingin tahu semua latar belakang, asal, dari mana kau hadir di dunia. Perlahan ketertarikan bisa memposisikan dirinya mengagumi (keterang profil yang kau ukir); secepat kilat sadar menghampiri "ahh.. pencitraan karakter" hati ini berucap.
Saat mendekati berakhir 1 tahun kita menyatu, teringat saat kau hadirkan "dia" kembali (mantanmu) sebagai pelampiasan hati yang kau anggap sempurna; kau kejam dengan pengharapan. Sejenak aku lemah dengan keadaan, perlahan hilang dari peradaban, menghapus foto yang banyak tercecer di media sempat aku tunggangi. Bagiku, ini bukan hal baru menggantungkan sepenuh harapan pada jiwa; ternyata karanganmu semu.
Adalah aku yang ingin terbiasa tanpa rasa, sontak menghapus jejak walau masih ingin kembali ku lakukan sepenuhnya; namun kau terlalu cepat melupa. Di berbagai media-mu, kau bahagia dengan hadir "dia" yang katamu lebih indah; remuk, jiwa ini perlahan jatuh. Kau begitu cepat berkonstelasi dengan hari, sementara aku "haah.." masih di bawah bayang-bayang janji. Dari awal kau datang, jujur kau ingin aku jadikan yang terakhir, telah lelah mencari tambatan yang mana saat kita berkisah (mungkin) begitu indah. Terang saja, semua lirih tertuju pada hari dimana kita (dahulu) saling berbalas rindu, saling terbuka pada rasa, namun kini cukup aku panggil "kenangan".
Hai, kau tahu, mengarang janji teramat mudah terlaksana; siapapun itu, termasuk kamu. Kini, adalah kita yang telah usai dengan seribu ke-senduan yang terjadi (saat kau pergi) lalu mengalihkan tambatan padanya. Bercerita dengan matematika, itu merupakan salah satu pelajaran terberat yang aku hadapi; sama halnya lebih berat dengan kehilangan kamu yang pergi. Aku berfikir, mencari pengganti lebih baik ku-lakukan dengan cepat; tapi kau berisyarat untuk kembali (lagi). Jelas, aku terjerumus lagi pada lobang yang mesti dihindari.
Hari berlalu, dingin sikapmu masih saja terus terasa; benar, kembali padamu hanya ketikan "hahaha" yang sama sekali aku tak pernah benar-benar tertawa. Kau bertopeng, bukan berkat rasa yang ada; kau kembali hanya perihal iba.
Terulang, memang kembali pada masa sebelumnya tak selalu sama; sakitnya kita hanya berpura-pura saling bahagia. Adalah waktu yang benar-benar membuatmu pergi, memang salahku terlalu berharap; kita tak sejalan dan sudah tak serasa. Setelah kau kembali sejenak lalu kau pergi; nyatanya untuk tak kembali. Dan selepas hari itu kita resmi teman yang pernah ber-perasaan.
Melalui waktu, tujuh bulan aku kembali dari perantauan; pulang. (Di bandara) "aku berangkat, pulang" tulisku pendek pada chat terkirim, sia-sianya; "iya, hati-hati" balasmu singkat tanpa ada rasa bahagia; jatuh sudah harga diri ini berharap. Jujur saja kita masih berada pada suka yang sama; selepas ke-pulangan ini kau hadir (sebagai teman). Sedikit sakit, menggerus perasaan tapi tak apa; kita hanya bersama pada status yang berbeda. Selepas lebaran (2016) kau mengajak untuk pergi berdua-an, sontak bahagia tak dapat tertahan; kita kembali pada peradaban.
Meski bersama, aku sadar kita hanya sepasang makhluk yang tumbuh berbeda; tak seperti sebelumnya (tahun lalu). Menjadi pribadi yang berbeda, menjadi tempat yang tak seperti yang aku kenal; iya, itu kau dan aku.
Menyaksikan lautan biru, bercerita habiskan waktu; "ooh Tuhan, seandainya perpisahan tak terjadi" ucap hati lirih menggebu. Barangkali, kita akan menjadi sepasang bahagia yang sama dalam mencinta.
Langit memerah perlahan, kita kembali; harapanku semoga ada hari lagi kita dapat bersama. Berganti hari, pesan singkat yang saling kita kirim terang tak se-mesra dahulu; berbeda. Pada akhirnya harapan ini sadar, sekuat apapun kau mengarang tak semua terjadi sesuai alur, tak semua sama persis dengan keingin, lalu selepas kepergian bisa saja kembali; tapi tidak dengan "chemistry" yang sama. Kau bebas mengarang apapun yang kau mau, tapi tidak dengan kejadian yang kau harapkan; berkat dasarnya waktu kita tak pernah tahu sedikit kedepan apa yang terjadi. Perihal janji yang pernah kau ucap memang bukan salahmu semata; hanya kita saling bersalah yang terlalu berharap bahagia terlalu jauh.
...