Epilog rindu akhir semester






Hampir sebulan sudah tidak menikmati pengabnya ruang fikir dan merasakan dinginnya ruang kelas, rindu hawa manis berdesakan dengan  rekan sejawat,  berlarian pada  ruang  lapang, hingga menonton slide power point kebenaran.  Kembali  terdiam monoton—menunggu hasil penilaian semester pada website yang dirancang khusus bagi penikmat seni abstrak; itu indah bukan. Lalu, sudah hampir 5 semester terlewati, nyatanya realisasi pada kemajuan kadang tak sesuai imajinasi, waktu perkuliahan berlansung seakan tak begitu mempermasalahkan konjungsi huruf—angka  berapa yang akan didapat saat  semester berakhir, tapi  sejenak terhempas saat satu persatu nilai berhamburan, bahkan kerap kali kaum pengabdi teori sontak mengamuk menuntut pengakuan  intelektualisasi diri saat IPK tinggi  tak lagi menghampiri; memang ini kebiasaan yang berulang.


Dari balik layar perkuliahan, semestinya kita sadar point kedekatan terkadang menjadi faktor penentu ia lulus lebih awal atau tidak; namun nyata sekali diksi kata dekat terlalu menghujam pada akhiran  penjilat. Begitulah adanya, perihal peran penting sebagai pemegang kata “Maha” dari ras manusia, bisa saja khilaf—bersalah dan  perlahan kembali pada fiksi agen of change; kembali menjadi siswa.  Lantas, bukan hal baru lagi jika rindu tersebut kerap dirasakan pendahulu yang pernah tak mementingkan diri sendiri melainkan berani bertaruh masa study, sontak saja ini berkembang luas berkat doktrin  positif kerap menyiksa sang agen  yang dahulu dituntut  kritis.


 Baca juga : Disposisi malu



Berfikir positif, makna dari kata ini mengajarkan kita untuk selalu beranggapan apa yang terjadi itu baik—bagi diri sendiri dan orang lain. Hingga terbit kebijakan yang terkesan mengekang, hal yang bisa dilakukan tak lebih dari anggapan semua itu baik berkat serasa kritik dan saran perlahan dikesampingkan; bahkan terkesan haram.  Kelewat batas rancu bagi menreka yang tak mampu menempatkan suatu hal, mengesampingkan kritik dan saran ini serasa kita di batasi—dalam demokrasi hingga musyawarah terkesan hanya kata yang tertulis pada prasasti. Canggung menghadapi kerinduan pada masa belajar hingga aku canggung menuntut keadilan berkat tak selalu kebijakan menguntungkan; sementara kita dijamin untuk bebas menyatakan pendapat—sesuai norma yang ada. Bila tak mendapat hal yang diingin, ya sudah; diam seperti hal yang tak logis untuk diterapkan. Begitupun perihal apatis, tak mau tahu dengan keadaan hingga tak ingin tahu kejadian sebab kita dituntut positif bukan kritis; inilah yang dialami mereka yang bangga dengan kata maha pada ras manusia.





Sampai kapan semua itu terjadi, diksi indah diakhir masa libur juga bukan perihal kau mendapatkan apa, hasil dari berpandai-pandai, atau bahkan portal kehidupan yang kau anggap begitu penuh dengan literasi bahagia. Akan tetapi harusnya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa hidup saat ini bukan bergantung pada kau cepat di wisuda—menjadi seorang sarjana, bekerja dalam tim maupun kau menciptakan suatu hal.
 

Namun, saat ini bagaimana kau mampu menempatkan hal sesuai tempatnya, meletakkan perkara sesuai iramanya—hingga aktualisasi tepat sasaran. Maka disini, epilog dari rindu itu terjawab, bagaimana kita yang dahulu terkesan dinamis dan kritis pada suatu hal yang mengancam keadilan, kini terdiam seolah apatis dengan apapun kebijakan yang bertinta tanda tangan pengesahan. Meski kau pada akhirnya akan mendapatkan penilaian, entah itu nilai pembelajaran yang baik, atau buruk hasilnya, kita tak pernah diajarkan lupa pada peran penting sebagai pemuda, sebagai ras manusia pemegang kata maha, namun kecerdasan menempatkan doktrin positi harus terlaksana. Hingga rindu itu berakhir, setidaknya kita mampu menjawab sedikit kerinduan pendahulu yang telah berkorban meneggakkan tri dharma.
 







Previous Post Next Post