Menjadi yang
terdepan barangkali salah satu tujuan hidup manusia, belajar dari kegagalan
lalu bangkit kembali. Pasti saja ini cara menghilangkan rapuh yang sejenak
menghantam, pernah membuatmu berkeping hingga terpuruk—malu pada dunia. Malu mengakui
kau telah kalah, hingga masih banyak malu yang harus kau tanggung.
Mengejar
kehidupan merupakan hal yang senantiasa digaungkan bagi mereka yang terbiasa dengan
target, bahkan kerap mementingkan urusan sendiri hingga meng-agungkan suatu
perkara dunia—berepilog candu. Lebihnya, sebagian contoh dari malu pada hidup
mereka yang kerap disapa milenial ialah tak memilki banyak follower media sosial,
belum menciptakan konten viral, hingga belum menjadi pusat perhatian media fana;
lantas inikah malu yang seharusnya terjadi?
Pada zaman
kemajuan teknologi saat ini, kita terbiasa dengan hal yang membuat seorang
terpaksa menjadi penghamba—sosial media, mengingat saat ini sudah hampir semua
orang memilkinya. Membuat ia merasa tersisihkan kala tak memiliki apa yang
orang lain miliki—bahkan terabaikan oleh zaman. Hingga diposisi malu saat ini
seorang cenderung mineder dan tak mau membaur dengan kehidupan normal; terlebih seorang milenial.
Kebanyakan,
penyumbang angka milenial juga berasal dari kalangan mahasiswa semester awal. Sifat
mereka yang kerap masih tergolong kanak-kanak dan terbawa kebiasan pendidikan
SMA. Hal ini tentu saja membuat mereka kadang susah beadaptasi dengan kehidupan
kampus—yang terkesan elegan pada pemikiran. Sebenarnya, bukan hal yang tabu
jika hal itu kerap terjadi—mengingat kebiasaan yang tentacap cenderung susah dihilangkan. Tak terkecuali
dengan malunya milenial yang dianggap aneh saat ia telah berada pada masa
pemikiran adalah segalanya—saat menyandang status mahasiswa.
Baca juga : Radiasi teori kosong
Pola pikir juga
kadang menjadi penentu, meski tak semua pribadi dititik berat pada disposisi—namun
hampir menyeluruh dari mereka hanya terpaut pada social media. Terlebih jika
pribadi tersebut tak begitu update informasi—maka sering kali menjadi momok
menakutkan bagi si-penghamba media. Dalam artian, penyalahgunaan media sosial kini kerap terjadi.
Banyak dari kita
melihat konten yang teramat viral, kadang di jadikan kiblat bagi mereka pecandu
fiksi dunia. Hingga, kebanyak milenial dikalangan terdidik mengikuti hal
tersebut tanpa berfikir dampak yang terjadi. Meski kadang hanya dianggap
iseng-iseng, namun berbeda halnya jika keluar dari batas kewajaran. Kecenderung
ini pun yang membuat malu pada dunia maya jika tidak mengikuti konten viral, tidak
membuat konten “alay” juga
berkonjungisi kontroversi—negative
sekalipun. Sampai kapan milenial terjebak konstelasi peradaban ini?
Duhai intelek,
sudahkah kita saling bergagas dengan fenomena yang terhampar—atau bahkan kita
terbawa arus hingga saling membenamkan.
Pada suatu
posisi, kecenderungan malu terwujud pada hal yang tak semestinya. Belum puas
jika tidak mengkiblatkan diri pada hal yang
viral. Epilognya diri lupa pada peran penting yang mesti diampu, tanpa
terkecuali sebagai contoh mahasiswa kecenderungan kini berfikir hanya sebatas
teori singkat media candu. Perlahan lupa dengan statusnya, hingga terpacu untuk
melakukan malu yang senada.
Saat ini, sudah
mestinya disposisi malu tersebut harus dihilangkan. Kritik pedas dahulu telah
digaungkan, kini perlahan memudar. Marwah mahasiswa yang dahulu kritis, bahkan
kini terbawa arus puisi viral—yang kadang tak berarti. Mengembalikan malu pada
tempatnya, malu dengan hal tabu pada kehidupan yang diatur norma. Hingga malu
jika gagal mengabdi—menjadi pejuang aspirasi; gagal memperjuangkan keadilan. Maka
itulah marwah malu yang sesungguhnya, bukan pada hal yang menghamba pada sosial
media, atau bahkan malu jika belum mengikuti konten viral. Kembalikan malu yang
dahulu pernah ber-literasi indah—dengan syair kehidupan hingga disposisi ini
segera terhenti, melemah, hingga musnah.