Birokrasi, sebuah kata kerja yang
tak asing lagi bagi kita—terutama mahasiswa. Ada banyak jenis dan sifat
birokrasi, salah satunya birokrasi pada sistem kampus. Membantu, memudahkan,
bahkan tak mengikat itulah beberapa sifat dari birokrasi ini; nah bagaimana
jika birokrasi itu dibuat berbelit dan cenderung menyusahkan?
Perguruan Tinggi yang bangga di
sebut dengan kampus, akan selalu memberikan pelayanan pada mahasiswanya, dalam
hal ini termasuk pembelajaran hingga sistem
saat pendaftaran ulang bagi mahasiswa yang telah terdaftar, maupun para
milenial (mahasiswa baru) yang berada pada semester awal. Bagi milineal ulung
mendapatan sistem birokrasi yang memudahkan barangkali suatu keinginan yang tak
ternilai harganya, berkat doktrin hidup yang serba instan milenial akan
mendamba hal ini secara terus menerus. Wajar memang, saat ini beberapa dari
kalangan milenial yang telah mulai melanjutkan pendidikannya ke jenjang
perguruan tinggi kerap terkontaminasi kehidupan instan, hingga sifat apatis
yang menyelimuti pikirannya berkembang pada stadium mematikan oligarki agen of
change. Pengaruh perkembangan teknologi yang sangat pesat hingga terpaku pada
segiempat berlayar (Gadget) membuat kehidupan mereka cenderung melangkah pada
sikap hedonis dan mementingkan diri sendiri, sehingga apapun birokrasi baik itu
mengekang atau memudahkan mereka akan cenderung tidak peduli. Lantas, bagaimana
dengan kita yang masih peduli?
Sistem birokrasi pada kampus
keluarga (sebutanku) akan cenderung membuat seorang yang putus asa dengan
perkuliahannya cepat menyerah, tak kompromi dengan keadaan hingga hadirnya
perilaku mementingkan diri sendiri. Tentu saja, hal ini dapat menyebabkan
perpecahan bagi sesama mahasiswa juga, ini dikarenakan sudah tidak ada lagi
kekompakan antara satu dengan yang lain demi di perbaikinya sistem birokrasi
kearah yang baik dan benar.
Baca juga : Idealisme tergadai nilai
Saya menilai, mahasiswa yang kini
cenderung bersikap hedonis, lebih sering beranggapan bahwa sistem yang demikian
tak perlu di permasalahkan. Benar, akan tetapi jika birokrasi itu telah
mengekang kita dan membatasi untuk mengutarakan pendapat, betapa salahnya
anggapakn itu. Pada suatu perguruan tinggi yang menganut sistem keluarga yang
mana kebanyakan terpadat pada perguruan tinggi swasta para petinggi dan
pengelolanya berasal dri kerabat dan sanak family dalam berjalannya proses
belajar mengajar kerap tidak memperhatikan keinginan mahasiswa dan cenderung
ingin mendapatkan laba saja, meski tak semua, pasti saja ada beberapa yang
menganut sistem tersebut.
Jika kita bandingkan dengan
milenial, mahasiswa yang berada pada tingkat akhir akan cenderung mengeluh pada
sistem yang berbelit, kenyataannya saja mereka ingin sekali berpartisipasi
dalam penyampaian aspirasi, namun seolah kita mahasiswa hanya di tuntut untuk
belajar, meneliti, pengabdian seadanya, bukan di tuntut lagi untuk memiliki
sikap kritis, dinamis, dan inovatif.
Pengaruh birokrasi ini juga dapat
mengajarkan mahasiswanya menjadi apatis, bagaimana tidak, kita yang biasa
bangga dengan perilaku dan pemikiran kritis, kini seakan di paksakan untuk
sekedar berfikir positif terhadap resolusi, ataupun aturan, kebijakan yang
terbit di lingkungan perguruan tinggi. Sebut saja, peraturan yang seakan
mengekang kebebasan waktu berorganisasi hingga hilangnya keinginan mahasiswa
untuk aktif dalam organisasi akan cenderung didiamkan saja meski penolakan
kerap hadir, mengapa ini bisa terjadi? Sangat jelas, perilaku berfikir positif
kerap mempengaruhi.
Saya tidak mengatakan berfikir
positif itu tidak baik, apalagi melarang mahasiswa untuk berfikir positif. Berkaitan
dengan hal ini, sudah seharusnya kita yang bangga dengan atribut dan peran
penting sebagai mahasiswa mampu menempatkan pemikirannya dengan bijak, hingga
kembalinya marwah mahasiswa sebagai agen of change dan terwujud keadilan bagi
rakyat, menjadi pengabdi masyarakat terlaksana kembali. Berfikir positif harus
di tempatkan pada hal yang sesuai tanpa menghilangkan perilaku berfikir kritis,
dinamis, serta inovatif.
Sering perguruan tinggi
memaksakan birokrasi yang berbelit, cenderung menyusahkan (pendapat) sebagian
mahasiswa yang tak begitu menerima dengan bijak, hingga terwujudnya perilaku
saling sikut antar sesama mahasiswa, saling menjatuhkan sampai pada tahap
penjilat ulung demi lancarnya perkuliahan. Hal ini bukan wajah asli mahasiswa
bukan? Terang terlihat di kehidupan yang serba instan.sebenarnya, hal yang
berkaitan dengan birokrasi juga telah diatur dalam berbagai aturan, namun bagi
kampus yang menganut system kekeluargaan bagaimana?
Mari kita berdiskusi dengan
bijak,
Adapun birokrasi yang baik
harusnya merunut dan menghasilkan kemudahan, hingga seberapa efesien sistem itu
dapat di aplikasikan di kehidupan kampus, tidak mengekang hingga membebaskan
mahasiswanya untuk kembali berfikir sesuai idealism (sesuai norma) tidak
memaksakan kebijakan yang diluar nalar. Kerap kali, ancaman terlontar dari
kebijakan tersebut, misalkan; aturan yang merunut pada kehadiran (absensi)
mahasiswa, seandainya jika perguruan tinggi
tersebut dapat memberikan motivasi pada mahasiswanya yang bisa dikatakan sering
membolos, maka tak perlu rasanya kebijakan yang bersifat ancaman tersebu
dirilis dan di keluarkan. Namun, sangat nyata, berbagai ancaman yang hadir
dalam system birokrasi tersebut juga tidak mampu mengubah mindset mahasiswa
untuk berfikir dan berlaku sesuai kehendak birokrasi tersebut. Lalu, bagaimana
solusinya?
Hadirnya birokrasi yang membelit,
juga terdapat ancaman pada setiap kebijakan justru akan menyebabkan
ketidakpuasan bagi mahasiswa tersebut. Untuk itu sangat diharapkan berbagai
upaya dalam memotivasi dan mengembalikan semangat mahasiswa sangat di harapkan
hadir. Tidak menggunakan kata-kata yang bersifat ancaman, paksaan, justru akan
menumbuhkan kesadaran bagi mahasiswa menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dapat
menerima berbagai kebijakan dengan ikhlas hingga melaksanakannya dengan baik. Berkaitan
dengan ini, birokrasi kampus yang mengajarkan mahasiswa untuk berperilaku baik
tanpa harus melontarkan kata sanksi juga akan lebih di terima.
Berhubungan dengan birokrasi
tersebut, sebagai mahasiswa saya juga sangat berharap, setiap kebijakan yang
mengajak dapat kembali memotivasi mahasiswanya berlaku sesuai marwah. Tidak bersikap
apatis apalagi di zaman yang cenderung mencerminkan perilaku hedonis ini,
kebijakan hingga birokrasi kampus dapat merangkul mahasiswa, hingga hadirnya
pola pikir yang baik dan cerminan sebagai mahasiswa bapat hadir kembali.
Meski tak semua sistem birokrasi
yang demikian terjadi, saya sangat berterima kasih kepada perguruan tinggi yang
telah melaksanakan birokrasinya dengan baik dan bijaksana, namun sangat
berharap bagi perguruan tinggi yang sering dianggap salah pada birokrasinya
untuk dapat memperbaiki dan melaksanakan birokrasi dengan baik kedepannya. Mengembalikan
semangat mahasiswa yang hampir padam hingga kembali kepada marwahnya, sehingga
mahasiswa kembali eksis dan menunjukkan pemikiran idealis, sampai terwujudnya keadilan dan sesuai dengan
tridharma perguruan tinggi.