Kreapic - Romance |
“Literasi dan Kelas”
Malamku tak
pernah secerah sebelum kau hadir, masih ingat didepan kelas waktu keegoisanku
menatapmu? ”Ahhh..” ini hanya petanyaan konyol yang tak akan mungkin kau tahu. Waktu aku terpaku angkuh menghiraukan papan
tulis yang merayu manja, sementara kau terlalu khusuk mencari pena padahal
tulisan saja tak pernah ingin seistimewa
senja, sudahlah kau hanya sebatas kebetulan yang Tuhan takdirkan. Esoknya mentari masih saja menggodaku,
menjadi fiksi romantis untuk dibaca alurnya tapi realita seolah kita hanya antonim yang saling membelakang,
angkuhku masih terfikir senyum egomu sehingga berharap waktu yang membuat kita
bertatap kembali. Ku panggil kau candu, mungkin ini sebagian fiksi yang membuat
kau sombong dengan kenyataan dan berkat
kau maju kedepan serangkaian kebetulan
itu terlukis realita dibenakku.
Berkat kau,
literasi malam aku nikmati seumpama puisi indah kala kekuatan stalking
membuatku enggan memberi waktu rehat bagi mata genit ini. Candu, masihkah menjadi
kebetulan yang akan kembali terwujud walau hanya pertunjukan sesaat? “Oohh..”
fikirku melayang kembali, ini kesekian kalinya aku hanya terpaku pada
instastorymu, aku tak begitu mengenal apalagi cerita angkuhmu, hingga kau tetap tersenyum dengan kebahagiaanmu namun
tak akan merasa di media aku sibuk mencari kesalahanmu.
Pagi ini
sempat aku berdoa hingga sepucuk puisi ingin segera aku ucap untuk tawamu tapi
biarlah ternyata kau tidak hadir. “Ahh..” aku bermimpi lagi, temanmu seolah
mengolok kenyataan dan untuk kali ini
aku dusta pada kenyataan, terima kasih
berkat stalking aku terlalu jauh mendalam. Sorotan cerita yang kau buat aku
juga pernah ketempat itu dan mimpi ingin bercerita santai dengan senjamu.
Sekedar cengkrama santai dengan secangkir hangat tak akan penah terwujud dalam
fiksi yang ku lukis bila sampai detik ini kita hanya sebuah bualan pagi,
gallery ponsel menjadi tempat berbincang bersama pedihnya tatapan matamu,hingga
mengutuk waktu yang terus berjalan
menjadi hal tersering aku lakukan.
Mengapa kau
terlalu indah kala itu, bukan menjadi kesalahan disaat mata genit membuatku
kesal pada kenyaatan. Aku lihat mereka juga menyukaimu karena tampang, sepintas
candaan sepertinya kau suka membalas. Lantas terlalu tinggikah egoku untuk
sekedar mengenalmu, aku memang tak mahir mengejar tak mahir menarik matamu,
namun kita terlalu sering berpapasan walau sekedar berlawan arah. Bodoh, sering
hatiku mengutuk bibir yang tak sanggup menyapa siangmu, teringat ditempat itu
kita sempat lama berhadapan tapi aku terlalu sibuk mengikat tali sepatu untuk
segera kabur dari hadapan temanmu.
Membelakangi
kenyataan bagiku terlalu sering, untuk kesekian kalinya kita batal berucap
sepatah kata. Aku tetap menjadi pengagum mediamu, aku tetap menjadi pengagum
saat kau duduk disamping mereka yang leluasa bercanda dengan otakmu. Menayapamu
hal terberat yang tak pernah mampu kulayangkan, lagi lagi hatiku bergetar kecut
saat dilayar proyektor namamu mengiasi literasi sore. Aku menyibukkan diri
seolah tak melihatnya, menyimpan rapat candaan saat kau susah dengan pengajar,
hahaha.. tawaku lepas kali ini kau susah dan lama didepan sehingga aku bisa
bebas memandangimu, egoku kembali ternyata memang kau pantas untuk dikagumi,
kau kalem, “ahh sudahlah.. ini hanya menambah cerita panjang tentang perasaan”
gerutuku.
Dan disinilah
waktu menjadi musuhku, selepas kelas itu aku tak pernah lagi leluasa
memandangmu, tak bebas membuat puisi tentang harimu. Sedikit penyesalan
terpatik diwajah, sebelum kau pergi mengapa kita tak bisa saling mengenal,
mengapa kita tak seperti mereka, entahlah. Setitik debu terasa begitu membebani
pikirku,sendu yang yang dahulu pernah ada perlahan kembali musuhku pada
kenyataan hingga gelap menghantui malam perasaanku tak lepas dari seikat
edelwise yang mati namun tampak hidup selamanya. Perihal rasa kagum sudahi
sajalah, carut marut keterbatasan selalu menghukum si pengagum yang tak pernah
mampu seleluasa camar dipantai, perlahan duniaku normal walau sesaat kutemui
kau ditaman yang ramai dengan segerombolan singa yang siap kapan saja menyantap
perasaanmu. Inilah kita, seakan bagai langit dan bumi yang jauh dari kata
sealam, biarpun kelas hanya sesaat bagiku semoga disuatu hari kita kebetulan yang ditakdirkan,
dan semoga hujan tak menghapus jejak dimana kita pernah berhadapan. –
…